Kesederhanaan Petani Tembakau Temanggung | Tembakau dan Cengkeh Indonesia

Kesederhanaan Petani Tembakau Temanggung

HPK taruh disini

Mendengar nama Temanggung, pasti yang terlintas adalah Tembakau karena tanaman asal Amerika Latin tersebut telah menjadi sumber kehidupan bagi petani di Kabupaten Temanggung. Memang tidak bisa di pungkiri, jika tembakau Temanggung adalah salah satu jenis tembakau rajangan yang memiliki kualitas bagus, karena di sana ada satu jenis yang dinamakan tembakau srintil.


Apabila kita berkunjung ke satu daerah di Temanggung pada saat musim tembakau seluas mata memandang hanyalah tanaman Tembakau. Bulan Agustus - September adalah puncak panen tembakau, dan saatnya orang Temanggung sedang menuai emas hijau yang terhampar luas di ladang. Rumah bertingkat dengan halaman luas yang penuh dengan para-para penjemur Rigen menjadi ciri khasnya. Aroma pedesaan yang semerbak bau tembakau menambah ciri kuat sebagai daerah penghasil utama tembakau. Rumah yang sederhana, namun kokoh berdiri dengan 3 mobil bak terbuka berjajar, deretan sepeda motor bukanlah para tamu yang parkir, tetapi properti pribadi petani.



Memangnya berapa rupiah hasil dari menanam Tembakau? Jika kita hanya melihat sekilas pasti kita tidak percaya apa yang sebenarnya terjadi. Puluhan hingga ratusan juta bisa masuk dikantong disaat panen berhasil. Suatu saat kami iseng di ajak masuk disalah satu rumah penduduk. Didalam rumah tersebut sudah berjajar keranjang-keranjang tembakau siap kirim. Lantas terdengar suara dengan nada rendah dan sedikit serak seolah halilintar menyambar gendang telinga, ”tembakau tersebut hanya laku 300 juta saja”. Seorang istri petani dengan raut wajah polosnya bercerita kalau tembakaunya hanya ditawar 300 juta penawaran 500 juta.

Uang sebanyak itu untuk beli apa?. Si ibu dengan tersenyum menjawab dengan nada seraknya bahwa bagi mereka yang penting bisa beli beras dan pupuk untuk musim tanam selanjutnya. Sebuah permintaan yang sederhana khas pedesaan, padahal uang tersebut cukup untuk beli televisi layar datar 60”, mobil atau barang mewah lainnya atau bahkan cukup biaya menyekolahkan anaknya ke luar negeri bila mau.

Mengapa petani-petani disana yang konon katanya memegang uang puluhan hingga ratusan juta rupiah seolah hidupnya tidak berubah. Bahkan desa yang menghasilkan uang miliaran rupiah dari emas hijau, masih seperti desa tertinggal?Begitulah budaya kehidupan petani yang menganggap kekayaan bukan segala-galanya. Disitulah letak kearifan petani dalam memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam, tetap sederhana walaupun harta melimpah. mereka lebih suka keladang memikul pupuk, mencangkul dan merawat tembakau daripada tinggal di rumah dengan perabot mewah dan berfoya-foya.

Panen adalah awal sebuah pesta di desa. Hasil panen di bagi-bagi untuk modal tanam, biaya perawatan, biaya hidup dan kebutuhan lain, hingga semua rata terpenuhi dan semua rata kebagian. Pola pikir yang sangat sederhana untuk terus berpikir sesuai putaran jaman, tahun depan akan menanam dan panen lagi begitu seterusnya berjalan berulang-ulang hingga puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Hidup yang penuh pengharapan dibalik kesederhanaan untuk menanam emas hijau dan menuai ratusan juta rupiah. Mungkin sepintas diwajah polos dan rumah sederhamana mereka masuk kategori keluarga miskin, namun jangan salah disaat pundi-pundi rupiah yang tersimpan diladang siap didulang. Jangankan membeli motor, dealer pun bersiap-siap kehabisan stock, atau beli beras sambil naik mobil mewah. Memang itulah mereka dengan segala kearifan, kebijaksanaan dalam menyikapi sumberdaya alam dengan penuh kesederhanaan.
close
==[ Klik disini 2X ] [ Close ]==